A.M. Hendropriyono

Haji Abdullah Makhmud Hendropriyono (lahir di Yogyakarta, 7 Mei 1945) adalah seorang tokoh militer Indonesia yang menjadi Kepala Badan Intelijen Negara pertama. Ia juga pernah menjadi Menteri Transmigrasi dan Perambahan Hutan dalam Kabinet Pembangunan VII serta Menteri Transmigrasi dan PPH dalam Kabinet Reformasi.

Pendidikan
AM Hendropriyono menempuh pendidikan dasarnya di SR Muhammadiyah, Kemayoran, Jakarta kemudian pindah ke SR
Negeri Jl Lematang Jakarta, SMP Negeri V bag B (Ilmu Pasti) Jl Dr Sutomo Jakarta dan menyelesaikan SMA Negeri II bag B (Ilmu Pasti) Jl Gajah Mada di Jakarta.

Pendidikan militer
Selanjutnya ia melanjutkan pendidikan militer di Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang (lulus 1967), Australian Intelligence Course di Woodside (1971), United States Army General Staff College di Fort Leavenworth, Amerika Serikat (1980), Sekolah Staf dan Komando (Sesko) ABRI, yang lulus terbaik pada 1989 bidang akademik dan kertas karya perorangan dengan mendapat anugerah Wira Karya Nugraha. Selanjutnya ia lulus KSA VI Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Ketrampilan militer yang pernah diikutinya antara lain adalah Para-Komando, terjun tempur statik, terjun bebas militer (Military Free Fall) dan penembak mahir.

Pendidikan tinggi
Pendidikan umum AM Hendropriyono menjadikannya sebagai sarjana dalam Administrasi dari Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara (STIA-LAN), Sarjana Hukum dari Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM), Sarjana Ekonomi dari Universitas Terbuka (UT) Jakarta, Sarjana Teknik Industri dari Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani) Bandung, Magister Administrasi Niaga dari University of the City of Manila Filipina, Magister di bidang hukum dari STHM dan pada bulan Juli 2009 meraih gelar doktor filsafat di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dengan predikat Cum Laude.
Pada 7 Mei 2014, ia dikukuhkan sebagai guru besar di bidang ilmu intelijen dari Sekolah Tinggi Intelijen Negara[1]. Ia menjadi satu-satunya dan pertama di dunia yang menjadi Guru Besar Intelijen[2]. Atas gelar ini, ia tercatat masuk dalam Museum Rekor Indonesia (MURI)[3]. Pengukuhan ini sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 2576f/A4.3/KP/2014.

Karier
Sepanjang hidupnya, AM Hendropriyono mengalami tiga karier, sebagai militer, politikus, dan intelijen. Ia juga mengajar di beberapa tempat. Ia juga mengetuai Komisi Tinju Indonesia pada rentang waktu 1994 hingga 1998.

Karier militer
Karier militer AM Hendropriyono diawali sebagai Komandan Peleton dengan pangkat Letnan Dua Infantri di Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) yang kini bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD. Ia kemudian menjadi Komandan Detasemen Tempur Para-Komando, Asisten Intelijen Komando Daerah Militer Jakarta Raya/Kodam Jaya (1986), Komandan Resor Militer 043/Garuda Hitam Lampung (1988-1991), Direktur Pengamanan VIP dan Obyek Vital, Direktur Operasi Dalam Negeri Badan Intelijen Strategis (Bais) ABRI (199I-1993). Panglima Daerah Militer Jakarta Raya dan Komandan Kodiklat TNI AD.
Semasa menjabat sebagai Danrem 043/Garuda Hitam, Hendropriyono yang saat itu berpangkat Kolonel, dinilai berhasil mengeliminasi potensi radikalisme yang tumbuh di kawasan Talangsari, Lampung, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Talangsari 1989. Sebuah komunitas radikal pimpinan Warsidi, berhasil ditumpas.
Penyelesaian tugasnya sebagai Danrem 043/Garuda Hitam Lampung tersebut dicatat dengan kebanggaan oleh penduduk setempat, bahkan dijadikan model oleh ABRI sebagai suatu bentuk penyelesaian masalah keamanan yang terbaik. Penyelesaian GPK Warsidi tercatat berlangsung dengan cepat dan tidak berdampak sama sekali, termasuk tidak adanya protes dunia internasional. (KOMPAS - Jumat, 02 Apr 1993 Halaman: 20)
Berbagai operasi militer yang diikutinya adalah Gerakan Operasi Militer (GOM) VI, dua kali terlibat dalam Operasi Sapu Bersih III dan dua kali dalam Operasi Seroja di Timor Timur (sekarang bernama Timor Leste).

Berikut jenjang karier militer AM Hendropriyono:
1968-1972 - Komandan Peleton Komando Pasukan Khusus TNI-AD di Magelang
1972-1974 - Komandan Kompi Prayuda Kopasandha (Komando Pasukan Sandi Yudha)
1981-1983 - Komandan Detasemen Tempur 13
1983-1985 - Wakil Asisten Personil Kopasandha merangkap sebagai Wakil Asisten Operasi
1985-1987 - Asisten Intelijen Kodam V/Jaya
1987-1991 - Danrem 043/Garuda Hitam Lampung
1991-1993 - Direktur D Badan Intelijen Strategis ABRI
1993-1994 - Direktur A Badan Intelijen Strategis ABRI
1993-1994 - Panglima Kodam V/Jaya
1994-1996 - Komandan Kodiklat TNI AD

Karier politik
Dalam birokrasi pemerintahan RI, AM Hendropriyono pernah memangku berbagai jabatan yang berturut-turut: Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan Republik Indonesia (1996-1998), Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (PPH) dalam Kabinet Pembangunan VII, Menteri Transmigrasi dan PPH dalam Kabinet Reformasi yang kemudian merangkap Menteri Tenaga Kerja.

Karier intelijen
Pada periode tahun 2001-2004 sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) di Kabinet Gotong Royong. AM Hendropriyono merupakan penggagas lahirnya Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) di Sentul Bogor, Dewan Analis Strategis (DAS) Badan Intelijen Negara, Sumpah Intelijen, Mars Intelijen, menetapkan hari lahir badan intelijen, mencipta Logo dan Pataka BIN, mempopulerkan bahwa intelijen sebagai ILMU dan menggali FILSAFAT INTELIJEN, menggagas berdirinya tugu Soekarno-Hatta di BIN.
Dewasa ini AM Hendropriyono menjadi pengamat terorisme dan intelijen, yang kerap diminta untuk menjadi narasumber oleh media massa dan berbagai Lembaga, giat menulis bermacam pemikirannya dalam artikel-artikel di berbagai koran, majalah, radio dan televisi.

Karier akademis
Ia mendedikasikan ilmunya dengan mengajar Filsafat Hukum di Sekolah Tinggi Hukum Militer Jakarta dan di Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, dengan jabatan Lektor Kepala terhitung sejak tanggal 01 Maret 2002 sampai sekarang. Selain itu ketika menjadi Kepala BIN, Hendropriyono juga mendirikan Sekolah Tinggi Badan Intelijen Nasional di Sentul, Bogor.

Bisnis
Selain berkarier, AM Hendropriyono juga duduk di posisi penting beberapa perusahaan.
2014 - sekarang - Chief Executive PT Adiperkasa Citra Lestari
2010 - sekarang - Chairman Andalusia Group.
2010 - sekarang - Commissioner Carrefour Indonesia.
2009 - sekarang - Presdir PT Mahagaya.
2009 - 2012 - Chairman Blitzmegaplex.
2004 - sekarang - Chairman Hendropriyono & Associates.
2000 - 2001 - Chairman Hendropriyono Law Office.
1999 - 2001 - Presiden Komisaris PT KIA Mobil Indonesia.

Penghargaan
Ia juga penyandang berbagai kehormatan negara RI, dalam wujud bintang dan tanda jasa antara lain: Bintang Mahaputera Indonesia Adipradana, Bintang Kartika Eka Paksi Nararya-prestasi, Bintang Bhayangkara Utama, Bintang Yudha Dharma, Bintang Dharma, Satya Lencana Bhakti untuk luka-luka di medan pertempuran, serta anggota Legiun Veteran Pembela Republik Indonesia (Pembela/E, NPV : 21.157.220).
Ia juga dinobatkan sebagai Man Of The Year oleh Majalah Editor pada tahun 1993.

Keluarga
Ia memiliki beberapa anak, salah satunya adalah Diaz Hendropriyono, yang menjabat sebagai Komisaris Telkomsel pada tahun 2015.
Anak : Diah Erwiany Hendropriyono, Rony Narpatisuta Hendropriyono, Diaz Faisal Malik Hendropriyono.

Griya Anti Narkoba
Pada 25 Juni 2014, Ia bersama Komjen Pol (Purn) Gories Mere dan Irjen (Purn) Benny Mamoto mendirikan museum yang diberi nama Griya Anti Narkoba. Griya Anti Narkoba ini berdiri di lahan seluas hampir 1 hektar dan merupakan museum narkoba pertama di Jakarta. Terletak di Taman Indraloka, Jalan Mandor Hasan No. 45, Ceger, Cipayung, Jakarta Timur. Di Griya Anti Narkoba ini, pengunjung bisa melihat-lihat berbagai macam jenis obat-obatan yang mengandung zat berbahaya serta melihat dampak pemakaiannya. Museum yang didukung pula oleh didukung oleh Asosiasi Purnawira Penegak Hukum Narkotika Indonesia (AP2HNI) serta Yayasan Wale Anti Narkoba Indonesia (YWANI), ini beroperasi mulai pukul 10.00-17.00 WIB setiap hari serta hari libur nasional. Untuk masuk, tidak dipungut biaya[8].

Kontroversi
Dengan keterlibatannya dalam kampanye pemenangan Pemilihan Presiden 2014 di pihak Jokowi dan Jusuf Kalla, serta dalam tim transisi, sebagian relawan pendukung Jokowi menyatakan kecewa karena masa lalu Hendropriyono yang disebut-sebut terkait sejumlah dugaan pelanggaran HAM.[9] Ia sering dikaitkan dengan kasus Talangsari dengan dugaan penembakan membabi buta yang dilakukan anak buahnya. Namun ia menolak, dan menyatakan bahwa orang-orang yang terkepung di peristiwa tersebut membakar sendiri rumah mereka lalu bunuh diri. [10] Allan Nairn, wartawan yang banyak meneliti kasus pelanggaran HAM di Indonesia, menyatakan bahwa Hendropriyono siap diadili melalui pengadilan HAM untuk kasus yang kerap dituduhkan kepadanya, antara lain Pembunuhan Munir, Talangsari, atau pun Timor Timur.[11]
Atas kekhawatiran masuknya Hendropriyono dalam pemerintahan yang diperkirakan akan menghalangi penyidikan Kasus Talangsari, Jusuf Kalla menegaskan bahwa Hendropriyono tak berminat masuk ke dalam kabinet.[12] Dan memang setelahnya namanya tidak tertera dalam jajaran Kabinet Kerja.

Talangsari
Lihat pula: Peristiwa Talangsari 1989
Hendropriyono diduga telah terlibat dalam pembunuhan aktivis HAM Munir pada September 2004 dan pada Peristiwa Talangsari 1989 yang menewaskan banyak warga sipil tewas di Lampung, terluka atau hilang.[13][14][15][16] Disinilah ia mendapat julukan "The Butcher of Lampung".[17] Sebuah kabel diplomatik Amerika Serikat bocor dengan menuduh bahwa Hendropriyono "mengetuai dua pertemuan dimana pembunuhan Munir direncanakan" dan saksi dalam pertemuan tersebut mengatakan kepada polisi bahwa "hanya waktu dan metode pembunuhan berubah dari rencana awal ia membahas, rencana awal adalah untuk membunuh Munir di kantornya".[18] Ketika Hendropriyono diangkat menjadi Badan Intelijen Nasional penunjukan itu pahit bagi proses penyidikan kematian Munir yang membimbing pada penyelidikan peran Hendropriyono dalam pelanggaran hak asasi manusia untuk sebuah penuntutan.[19]
Pada Februari 2008, ia pernah diisukan tidak mau memenuhi panggilan Komnas HAM. Namun berita itu kemudian diralat sendiri oleh Ketua Tim Ad Hoc penuntasan kasus Talangsari, Johny Nelson Simanjuntak, dengan menyatakan bahwa memang belum ada undangan yang dikirimkan.[20] Pada Bulan Maret 2008, Komnas HAM kembali membuat pernyataan bahwa Hendropriyono sudah diundang namun tidak datang, dengan kemungkinan surat pemanggilan tidak sampai ke tangannya karena sedang berada di Kanada[21]. Karena itu Komnas HAM akan melakukan pemanggilan kedua. Try Sutrisno dan Wismoyo Arismunandar juga dipanggil dalam kasus ini,[22] namun tidak datang.[23] Sementara Babinkum TNI AD menyatakan pemanggilan paksa dan penyelidikan atas purnawirawan dalam kasus Talangsari ini tidak sah karena belum ada pengadilan Ad Hoc. Komnas HAM membantah hal ini dengan menyatakan bahwa para purnawirawan tersebut hanya dipanggil untuk dimintai keterangannya sebagai saksi non korban.[24] Rekomendasi oleh tim untuk penuntutan Hendropriyono benar-benar diabaikan oleh polisi dan kantor jaksa agung.[25] Pada tahun 2014 Hendropriyono mengaku kepada wartawan Allan Nairn bahwa ia memikul tanggung jawab komando atas pembunuhan Munir Said Thalib, dan ia siap menerima untuk diadili
( id.wikipedia)