Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut V Surabaya atau (Lantamal V Surabaya) adalah salah satu dari beberapa pangkalan militer TNI Angkatan Laut di Indonesia yang bermarkas di Surabaya, Jawa Timur. Dari 11 pangkalan Lantamal V adalah yang terbesar dan mempunyai fasilitas pangkalan yang terlengkap, hampir separuh kekuatan TNI Angkatan Laut Indonesia berada di Surabaya, hal ini menunjukkan betapa pentingnya Pangkalan Utama TNI AL V Surabaya. Melihat dari sejarahnya bahwa pangkalan tersebut di bangun sejak zaman penjajahan Belanda pada tahun 1878. Wilayah kerja Lantamal V Surabaya meliputi, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali.
Pada tanggal 15 Januari 1950 pergantian nama dalam rangka penyempurnaan tugas dilaksanakan dalam tubuh KPALS. Nama KPALS berubah menjadi KDMPS (Komando Daerah Maritim Pangkalan Surabaya) kemudian berubah kembali menjadi KDMS (Komando Daerah Maritim Surabaya), Kodamar (Komando Daerah Maritim) IV, Kodamar V hingga tahun 1971, Daeral (Daerah Angkatan Laut) IV hingga tahun 1982, Lantamal Surabaya tahun 1984. Akhirnya berdasarkan Surat Keputusan Kepala Staf TNI-AL Nomor : Skep/1202/V/1985 tanggal 29 Mei 1985 berganti nama menjadi Pangkalan Utama TNI-AL III atau Lantamal III Surabaya, Terakhir berubah menjadi Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut V Surabaya berdasarkan Skep Kasal Nomor : Kep/ 10 / VII /2006 tanggal 13 Juli 2006.
Sejarah
Kekalahan kekaisaran Jepang dalam Perang Pasifik (1941-1945) ditandai dengan peandatanganan pernyataan menyerah tanpa syarat seluruh kekuatan militer Jepang kepada sekutu di atas kapal perang AL Amerika USS Missouri. Setelah penandatanganan kemudian dilanjutkan dengan pengumuman kepada seluruh kesatuan Jepang di wilayah pendudukan untuk tidak melakukan kegiatan apapun sementara menunggu kedatangan pasukan sekutu yang akan melucuti dan memulangkan mereka ke negara induk Jepang. Berita penyerahan Jepang kepada sekutu diumumkan keseluruh penjuru dunia melalui radio. Para tokoh pergerakan Indonesia yang mendengar hal tersebut memanfaatkan momen itu dengan segera mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Tapi hal tersebut tidak berjalan dengan mudah karena pasukan Jepang yang berada di Indonesia tidak mendukung, mereka mempertahankan status quo dalam rangka penyerahan wilayah Indonesia kepada pihak sekutu, hal ini merupakan tantangan bagi para pejuang kemerdekaan untuk dapat memproklamirkan kemerdekaan sebelum pihak sekutu yang dibonceng Belanda tiba di Indonesia.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 akhirnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Hal tersebut disambut oleh para pejuang didaerah dengan membentuk badan perjuangan. Badan-badan perjuangan inilah yang aktif melakukan pengambil alihan berbagai fasilitas pemerintahan, baik sipil, militer maupun kepolisian dari tangan pemerintah dan balatentara kekaisaran Jepang, termasuk merebut dan mengambil alih persenjataan.
Para pemuda dan tokoh kemerdekaan yang pernah mengikuti organisasi atau pendidikan kemiliteran, baik semasa kolonial Belanda maupun pendudukan Jepang, membentuk suatu badan kemiliteran yaitu Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada tanggal 22 Agustua 1945. Dikalangan para pejuang Bahari, para pemuda meresponnya dengan membentuk BKR Laut yang diresmikan pada tanggal 10 September 1945, Badan inilah yang kemudian menjadi BKR Laut pusat yang berkedudukan di Jakarta. Setelah itu dengan pembentukan BKR-BKR Laut di daerah-daerah termasuk Surabaya.
Pada perkembangannya untuk menyesuaikan dengan situasi pada tanggal 05 Oktober 1945 Pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat No. 2/X yang secara resmi merubah BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), kemudian BKR Laut menyesuaikan menjadi TKR Laut. Di bidang organisasi , TKR Laut terjadi perkembangan menyangkut penegasan terhadap fungsi dan tugas utamanya, sehingga dibentuklah system pangkalan di setiap daerah dimana TKR laut berdiri.
Awal Berdirinya Pangkalan
TKR Laut di rubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) pada tanggal 25 Januari 1946, pada Pebruari 1946 berubah menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) diresmikan Pemerintah RI pada tanggal 19 Juli 1946. berkaitan dengan hal perubahan tersebut pangkalan-pangkalan TKR Laut menjadi Pangkalan ALRI. Pada saat itu ALRI dipimpin oleh Ketua Umum Laksamana III M. Pardi, pada priode tersebut (1946-1947) ALRI tercatat memiliki 12 Pangkalan di Pulau Jawa yaitu Pangkalan I Serang, Pangkalan II Karawang, Pangkalan III Cirebon, pangkalan IV Tegal, Pangkalan V Pemalang, Pangkalan VI Juwana, pangkalan VII Surabaya, Pangkalan VIII Madura, Pangkalan IX Probolinggo, Pangkalan X Banyuwangi, Pangkalan XI Pacitan dan Pangkalan XII Cilacap.
Pertempuran Memperebutkan Pangkalan Di Surabaya dari Jepang.
Pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang Surabaya merupakan pangkalan utama bagi pasukan penjajah Balanda maupun Jepang, sehingga di Surabaya banyak pendidikan yang berunsur kelautan yang diselenggarakan oleh Belandan Maupun Jepang, banyak para pemuda di Surabaya mengikuti pendidikan tersebut sehingga ketika terjadi perebutan pangkalan di Surabaya para pemuda tersebut memegang peranan.
Pembentukan BKR Laut di Surabaya lebih pesat dan cepat dibandingkan dengan pembentukan didaerah lainnya, para pemuda yang pernah mengikuti pendidikan KoninklijKe Marine pada zaman Belanda maupun yang pernah mengikuti pendidikan Jawa Unko Kaisya, Akatsuki Butai ataupun Kaigun SE 21/24 Butai dan lain-lain pada zaman penjajahan Jepang membantu cepatnya proses pembentukan BKR Laut di Surabaya.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia di kumandangkan, untuk pangkalan Angkatan Laut di Surabaya masih dikuasai oleh Jepang, pada bulan Oktober 1945 datanglah Atmadji yang diutus oleh menteri Amir Syarifuddin untuk membentuk Angkatan Laut di Surabaya, untuk melaksanakan tugasnya itu Atmadji menemui dr. Mustopo yang pada waktu itu menjabat sebagai pimpinan umum BKR Surabaya. Hasil pembicaraaan kedua tokoh tersebut ialah dengan diangkatnya Atmadji sebagai penasehat pada Penataran Angkatan laut (PAL).
Pada tanggal 17 Oktober 1945. Pemerintah setempat melalui radio pemberontak memanggil pemuda-pemuda bekas pelaut zaman Belanda dan zaman Jepang untuk mengabdikan diri menjadi Angkatan Laut. Untuk menampung pelaut-pelaut tersebut maka dibentuklah Marine Keamanan Rakyat (MKR) pada tanggal 18 Oktober 1945 dipimpin oleh Atmadji.
Perkembangan selanjutnya Atmadji dapat dengan cepat berhasil mengkoordinasikan segala organisasi yang beraspek kelautan dan membentuk Markas Tertinggi yang berkedudukan di Wonocolo Surabaya dan karena situasi petempuran untuk mempertahankan kota Surabaya hingga akhirnya bergeser sampai ke Lawang. Kegiatan badan-badan yang beraspek kelautan di bidang operasi di pusatkan pada tugas pengambil alihan kekuasaan dari pemerintahan Jepang,. Pada tanggal 2 Oktober 1945 sesuai dengan keputusan antara pimpinan BKR Surabaya, pimpinan PAL, BKR Laut, Kepolisian dan badan-badan perjuangan lainnya maka diadakanlah gerakan pengambilalihan seluruh Komplek Pangkalan Utama Angkatan Laut Ujung Surabaya.
Serangan dilakukan dari tiga jurusan masing-masing dari Ujung, Komplek kantor Mokojosang dan dari Tanjung Perak. Pihak RI mengerahkan kekuatan lebih kurang 8.000 orang yang terdiri dari pasukan PAL dan BKR Laut 3000 orang serta dari badan-badan perjuangan 5000 orang serta dari kepolisian.
Pada pukul 08.00 tanggal 2 Oktober 1945, pasukan bergerak mendekati Komplek Penataran Angkatan Laut, melihat kekuatan dari pihak RI sangat besar, maka pasukan Jepang yang bertugas menjaga Komplek tersebut tidak mengadakan perlawanan sehingga dengan mudah dapat dilucuti senjatanya dan di tawan oleh pasukan RI. Pukul 10.00 WIB seluruh Komplek Pangkalan Angkatan Laut sudah dapat dikuasai, para tawanan tentara Jepang lalu di kumpulkan di lapangan Pasiran selanjutnya dibawa ke kamp tawanan. Bendera Merah Putih Berkibar di Komplek Pangakalan Angkatan laut Ujung Surabaya kemudian pimpinan umum PAL Moch. Affandi memerintahkan kepada pasukan PAL (PRIAL dan BBIPAL) agar kembali ke pos masing-masing untuk menjalankan tugasnya kembali.
Pada tanggal 3 Oktober 1945 Pimpinan BKR umum dan BKR Laut menyusun dan mengatur penjagaan di daerah Ujung dengan menggunakan pasukan dari tiga unsur tersebut, sedang pimpinannya diserahkan kepada Munadji, Katamhadi, Soetopo dan Soetedjo Eko. Tindakan selanjutnya adalah mengirim delegasi kepada pembesar/ pimpinan Angkatan Laut Jepang di Embong Wungu Surabaya agar mengakui secara resmi atas penyerahan Pangkalan Ujung.kepada RI, pimpinan angkatan laut Jepang bersedia mengadakan penyerahan secara resmi asal di dalam melaksanakan serah terima puhak RI diwakili oleh seorang pejabat yang kedudukannya setingkat dengan pihak Jepang. Setelah diadakan perundingan di antara unsur-unsur pimpinan BKR Darat, BKR Laut, PAL dan pemerintah daerah Jawa Timur maka ditetapkan wakil Gubernur Sudirman sebagai wakil RI dalam upacara serah terima tersebut.
Pada tanggal 7 Oktober 1945 di kantor Gubernur Surabaya diselenggarakan upacara timbang terima secara resmi atas seluruh Komplek Pangkalan Angkatan Laut Ujung Surabaya dari Kaigun Seiko Sikikan kepada Pemerintah RI. Dalam upacara tersebut pihak Kaigun diwakili oleh Laksamana Muda Mori Takeo yang bertindak atas nama Kaigun Seiko Sikikan Laksamana Madya Sjibata Yaichiro, sedangkan dari pihak RI diwakili oleh wakil Gubernur Jawa Timur Sudirman. Hadir dalam upacara tersebut beberapa pimpinan dari Komite Nasional Indonesia Jawa Timur yakni B. Soeprapto, Moch. Affandi dan Moenadji.
Dengan diserahkannya secara resmi Pangkalan Angkatan Laut Ujung dari pihak Jepang kepad pihak RI maka secara de jure dan de facto telah dikuasai oleh RI, ini merupakan modal utama bagi para pejuang bahari untuk membangun Angkatan Laut selanjutnya karena dengan diserahkannya Pangkalan tersebut seluruh asset yang ada di dalamnya berupa gedung-gedung, mesin-mesin di komplek PAL, sejumlah kapal kayu dan kapal perang, senjata dan lain-lain dapat dipergunakan sepenuhnya untuk membangun Angkatan Laut di Surabaya.
Satuan
Lanal Malang
Lanal Cilacap
Lanal Semarang
Lanal Yogyakarta
Lanal Batuporon
Lanal Tegal
Lanal Banyuwangi
Lanal Denpasar
( id.wikipedia)